Sabtu, 21 Desember 2024

DONGKRAK NILAI, KETIDAKBERDAYAAN GURU

Hedi Hidayat_ Ketua FGMN PPkn Menjelang datangnya kebahagiaan untuk mendapatkan liburan adea cerita memilukan guru tentang ketidakberdayaan menghadapi tekanan untuk mendongkrak nilai siswa Salahsatu penyebabnya adalaht tekanan dari sistem pendidikan . Nilai siswa "harus didongkrak" biasanya muncul karena tekanan dari berbagai pihak yang memprioritaskan angka sebagai indikator keberhasilan pendidikan Kebijakan administratif dalam sistem pendidikan kita kadang memprioritaskan nilai tinggi sebagai indikator keberhasilan, tanpa memperhatikan proses belajar. Pada akhirnya s ekolah sering khawatir terhadap citra institusi sehingga mengutamakan angka yang "indah" daripada pencapaian sesungguhnya. Sistem ujian nasional atau standar kelulusan yang terlalu kaku memaksa guru untuk memastikan semua siswa lulus, meskipun mereka sebenarnya belum memahami materi. Nilai yang tidak mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya membuat proses belajar menjadi kurang bermakna.Siswa tidak belajar untuk menghadapi tantangan sebenarnya dan mungkin kesulitan di tingkat pendidikan berikutnya atau dunia kerja.Guru terus-menerus berada di bawah tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis. Jika di telaah tekanan Orang tua juga yang sering kali menuntut nilai tinggi sebagai tolok ukur keberhasilan anak mereka, tanpa memahami perjuangan siswa atau guru. Selain itu dalam beberapa kasus, siswa tidak memiliki motivasi belajar atau kapasitas yang cukup, sehingga guru merasa perlu memberikan nilai tambahan agar siswa tetap dapat mengikuti sistem. Lalu ini yang salah siapa ? Kesalahan tidak hanya terletak pada individu guru, tetapi juga pada sistem yang memaksa mereka untuk memprioritaskan hasil (nilai) daripada proses pendidikan yang berkualitas. Namun, semua pihak—pemerintah, manajemen sekolah, orang tua, dan masyarakat—harus introspeksi dan bekerja sama menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Solusinya apa diantaranya merubah sistem penilaian yaitu fokus pada penilaian berbasis kompetensi, bukan hanya angka. Menggunakan pendekatan penilaian berbasis kompetensi (kompetency-based assessment) untuk mengukur pemahaman siswa secara lebih holistik. Selanjutnya mengurangi Ketergantungan pada nilai dengan penekanan pentingnya proses belajar, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan praktis, bukan sekadar angka. Sosialisasi dan mendidik orang tua dan masyarakat bahwa nilai hanyalah salah satu aspek dari pendidikan, bukan tujuan utama.

Minggu, 15 Desember 2024

GURU IKUT PEMILIHAN KETUA OSIS, TIDAK FAHAM ATAU LUCU-LUCUAN

Hedi Hidayat Ketua FGMN PPKn. Memasuki semester kedua tahun pelajaran , dibeberapa sekolah/madrasah akan disibukan dengan penyelenggaraan pemilihan ketua OSIS.Dari pantauan penulis hampir semua mempraktekan guru sebagai bagian dari pemilih dengan berbagai alasan. Ironis , terlihat awam sekaligus lucu , jika seorang guru ikut memilih dalam pemilihan Ketua OSIS, karena hal itu menunjukkan kurangnya pemahaman tentang prinsip demokrasi. Demokrasi dalam pemilihan OSIS dirancang untuk memberikan siswa kesempatan belajar menjadi pemimpin, mengambil keputusan secara mandiri, dan memahami proses demokrasi yang sebenarnya. Secara kasat mata guru yang ikut memilih dapat dianggap sebagai pelanggaran demokrasi karena mengganggu kedaulatan pemilih yaitu siswa.Dalam demokrasi, kekuasaan memilih seharusnya ada di tangan mereka yang diwakili, yaitu siswa. Ketika guru ikut memilih, ini mengintervensi hak siswa untuk menentukan pemimpin mereka sendiri. Selain itu praktek ini nengaburkan peran guru. Guru seharusnya berperan sebagai fasilitator yang mendukung siswa memahami nilai-nilai demokrasi, bukan sebagai peserta yang terlibat langsung dalam proses pemilihan. Yang lebih berpotensi adalah guru yang memilih mungkin memiliki pengaruh tidak langsung terhadap siswa lain, yang dapat mencederai prinsip pemilihan bebas dan adil Sesungguhnya tidak ada yang salah secara hukum jika seorang guru ikut memberikan masukan atau pandangan terkait pemilihan OSIS, asalkan mereka bersikap netral, tidak memengaruhi siswa secara langsung, dan menghormati proses demokratis. Namun, dalam konteks pendidikan pemilihan OSIS adalah bagian dari pembelajaran demokrasi bagi siswa. Jika guru ikut memilih, ada risiko memengaruhi hasil karena guru memiliki otoritas dan pengaruh yang besar terhadap siswa. Agar tidak mengaburkan peran guru, guru bisa berperan sebagai pengawas proses pemilihan, memberikan arahan terkait tata cara pemilihan yang sesuai dengan prinsip demokrasi, agar dapat mendidik siswa dengan lebih baik tanpa merusak esensinya. Jika diteruskan, hal semacam ini justru memberikan contoh buruk bagi siswa tentang cara kerja demokrasi.